Seni Pengambilan Keputusan
Rabu, 10 Februari 2010 | 09:35 WIB
Mempertimbangkan suatu masalah dari sisi pro dan kontra,
memikirkan setiap alasan,
dan mencari titik temu selama tiga atau empat hari untuk
mengambil keputusan merupakan kebiasaan Benjamin Franklin yang disebutnya
algebra moral.
Ia senang dengan kebiasaan itu karena dapat menilai dengan
lebih baik dan lebih bertanggung jawab.
Benjamin Franklin adalah sosok manusia yang sangat efektif
dalam berbagai fungsi,
yakni bisnis, militer, politik, ilmu pengetahuan, dan
diplomasi.
Pada zamannya (abad XVIII), ia seorang perintis di berbagai
bidang, yakni perpustakaan keliling, pemadam kebakaran, almanak, Akademi
Pennsylvania (sekarang Universitas Pennsylvannia), American Philosophical
Society, hingga mengetuai penulisan undang-undang di Amerika Serikat. Semakin
banyak fungsi atau peran seseorang, semakin banyak ia terlibat pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.
Hal yang perlu dicatat dari pribadi Benjamin dalam
pengambilan keputusan adalah bahwa ia berhasil memilih yang tepat dan bijaksana
dalam berbagai hal hingga membuahkan keberhasilan. Ia juga meninggalkan kesan
menyenangkan bagi banyak orang.
Ia adalah anggota masyarakat yang sangat dikagumi banyak
orang sejak masih sangat muda. Sebagai gambaran, pada usia 30 tahun ia telah
terpilih sebagai warga teladan di Pennsylvania.
Bila menengok bagaimana Benjamin dalam mengambil keputusan,
mungkin kita tertawa,
mengapa ia butuh waktu sampai tiga atau empat hari? Masih
relevankah dengan situasi sekarang?
Bila menertawakan hal itu, berarti ada juga yang dapat
ditertawakan dan dipertanyakan dari diri kita. Masih bersediakah kita
mempertimbangkan apa saja yang keputusannya ada di tangan kita dengan lebih
bijaksana, tanpa tergesa-gesa?
Ragam masalah
Sebagai manusia dewasa, setiap hari kita dihadapkan pada
situasi untuk mengambil keputusan. Mengambil keputusan menu makanan keluarga
sehari-hari tentu saja tidak perlu sampai berhari-hari.
Namun, untuk mengambil keputusan mengenai nasib seseorang
atau sesuatu yang penting untuk orang banyak, baik di dalam keluarga
(memutuskan pembelian kendaraan, memilih pasangan, pekerjaan, atau sekolah,
memecahkan masalah psikologis anak) maupun menyangkut orang lain, seperti dalam
perekrutan karyawan,
menyusun peraturan, menyusun program, dan lain-lain, tentu
saja perlu pertimbangan matang.
Sebagai manusia dewasa, kita sering kali kelewat percaya
diri (over confidence),
merasa telah matang dan mengerti banyak hal, sehingga cepat
yakin dengan keputusan kita sendiri. Terlebih efektivitas manusia masa kini
sering kali diukur hanya dengan kecepatannya memecahkan masalah dan mengambil
keputusan.
Lebih fatal lagi,
ada yang menemukan kenyataan bahwa setiap keputusan yang
diambilnya selalu berbuah uang sebagai upah sehingga semakin banyak keputusan
yang diambil, semakin banyak uang yang mengalir ke kantong. Hal-hal semacam ini
akhirnya membuahkan ketergesaan dalam memecahkan berbagai masalah dan mengambil
keputusan.
Ketergesaan hanya akan melahirkan keputusan yang prematur.
Ibarat seorang ibu yang melahirkan anak prematur, secara
fisik ia cepat merasa ringan,
tetapi akhirnya menanggung beban lain, yakni kualitas
kehidupan yang berisiko kelemahan fisik dan mental pada bayi yang dilahirkan.
Demikian pula pengambilan keputusan yang prematur, menghasilkan kualitas
keputusan yang merugikan diri kita sendiri maupun orang lain.
Utang luar negeri Indonesia merupakan salah satu contoh
besar betapa kita harus menanggung beban berat dalam jangka panjang karena
keputusan berutang oleh pemerintah masa lalu. Padahal, utang itu semata-mata
demi mengatasi persoalan ekonomi jangka pendek.
Di tempat kerja, mungkin jajaran pimpinan sebuah organisasi
memutuskan menolak lamaran seseorang hanya karena faktor usia atau jenis
kelamin.
Namun, akhirnya timbul penyesalan karena lima tahun kemudian
nama pelamar itu muncul di media massa karena karyanya yang penting.
Kecenderungan kerja mental
Pada saat kita mengambil keputusan dengan tidak banyak
pertimbangan,
terdapat beberapa kecenderungan mental kita yang bekerja
secara spontan tanpa disadari.
Kecenderungan tersebut ada yang positif, positif-negatif,
dan ada pula yang negatif.
Semuanya terbentuk karena pembiasaan sehingga muncul
persoalan dalam hal ini,
yaitu sejauh mana kita membiasakan kecenderungan yang
positif sehingga tidak didominasi oleh hal yang negatif.
* Positif
Intuisi merupakan salah satu hal yang positif.
Intuisi adalah kemampuan mengetahui atau mengenali secara
cepat
dan siap akan kemungkinan yang dapat terjadi dalam situasi-situasi
tertentu.
Meski demikian, harus diakui bahwa pengambilan keputusan
tidak cukup bila hanya mengandalkan intuisi. Akan lebih baik bila
dikombinasikan dengan pendekatan analitis dan rasional.
Intuisi sangat bermanfaat terutama dalam situasi pengambilan
keputusan yang berisiko atau tidak menentu.
Kreativitas juga merupakan kecenderungan yang positif.
Di dalam pengambilan keputusan, kreativitas berarti
pengembangan respons-respons yang unik yang berkaitan dengan masalah dan
kesempatan yang ada pada saat itu. Hal ini dapat berkembang bila seseorang
mengembangkan intuisi.
* Positif-negatif
Judgmental heuristic merupakan suatu bentuk penilaian yang
bersifat sederhana (mengambil jalan pintas) dalam pengambilan keputusan. Hal
ini memiliki nilai positif karena mencerminkan kerja mental yang efisien.
Bagaimanapun, penilaian heuristic ini dapat berakibat bias dalam penilaian
sehingga menyesatkan dalam pengambilan keputusan.
Setidaknya terdapat dua jenis penilaian heuristic:
- Availability
heuristic: menilai sesuatu hanya berdasarkan pengalaman
atau informasi yang tersimpan dalam ingatan penilai.
Misalnya, kita memutuskan membeli produk tertentu karena
informasi teman
yang berpengalaman positif dengan produk tersebut, padahal
belum tentu cocok dengan diri kita.
-
Representativeness heuristic:
menilai sesuatu berdasarkan pada anggapan memiliki ciri yang
sama dengan ciri-ciri kelompoknya. Misalnya, menerima seorang pelamar kerja
hanya karena ia berasal dari almamater tertentu yang kita kenal baik.
Masalahnya tidak semua output almamater tersebut dapat
diandalkan kualitasnya.
* Negatif
Kecenderungan mental yang negatif ini mencakup kecenderungan
seseorang untuk
mempertahankan penilaian atau keputusan sebelumnya meskipun
terdapat umpan-balik yang tidak mendukung penilaian tersebut. Kecenderungan ini
disebut peningkatan komitmen (escalating commitment).
Pengambil keputusan yang baik tahu kapan ia harus mengubah
keputusannya,
yaitu apabila ia menyadari bahwa keputusan dan komitmen yang
dijalankan saat ini ternyata tidak berhasil dengan baik.
Peningkatan komitmen negatif terjadi bila:
(1) umpan balik negatif diabaikan, dianggap sebagai sesuatu
yang sementara;
(2) pengambil keputusan melindungi ego dengan tidak mengakui
bahwa keputusannya salah;
(3) menggunakan keputusan yang diambil hanya untuk
memberikan kesan tertentu,
misalnya ingin dilihat sebagai pimpinan yang tegas (sehingga
mengambil keputusan secara otoriter).
Mengembangkan yang positif
Schermerhorn, Hunt & Osborn (1995) telah mengadopsi kiat
mengembangkan pengambilan keputusan intuitif-analitis.
Kiat tersebut meliputi tiga tahap:
teknik rileksasi, latihan mental, dan teknik analitis.
Ketiganya dapat dilakukan dalam waktu yang terpisah,
tetapi ketika kita benar-benar dihadapkan pada suatu masalah
yang harus diputuskan pemecahannya.
* Teknik rileksasi
- Singkirkan
masalah yang ada untuk sementara waktu.
- Buat saat yang
tenang untuk diri kita.
- Coba untuk
membersihkan pikiran (keadaan no-mind).
* Latihan mental
- Gunakan imajinasi
untuk menuntun cara berpikir kita.
- Biarkan ide-ide
yang ada dalam pikiran mengalir tanpa dihalangi.
- Berlatih untuk
menerima keadaan yang tidak pasti (ambiguitas)
dan menerima pula kekurangmampuan kita untuk mengendalikan hal
itu.
* Teknik analitis
- Diskusikan
masalah-masalah yang ada dengan orang lain yang memiliki cara pandang berbeda
dengan kita.
- Arahkan masalah
yang ada pada saat kita berada pada kesiagaan penuh untuk menghadapinya.
- Ambil jeda yang
cukup sebelum membuat keputusan akhir.
Seperti Benjamin Franklin, kita dapat mengambil keputusan
secara efektif, bijaksana,
dan dapat diterima oleh banyak pihak. Untuk itu, selain
dengan kiat di atas,
kita juga harus mempertimbangkan beberapa kriteria keputusan
yang etis:
*
Keputusan-keputusan diambil sedemikian rupa untuk memberikan kebaikan
tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada banyak orang yang terkait.
* Tidak melanggar
hak-hak orang lain (hak bicara, privacy).
* Mengenakan aturan
yang tidak berat sebelah (adil).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar