Senin, 23 Desember 2013

Kita tidak pernah menjadi Korban




1.       Kita tidak pernah menjadi korban
18 Desember 2013

“Kita tidak pernah menjadi korban, kita yang memutuskan menjadi korban.”

Manusia terlahir tak begitu saja langsung berilmu, selalu ada proses untuk kemudian menjadi orang yang layak disebut berpengetahuan. Selalu ada proses untuk menjadi lebih baik, lebih berarti lebih bermakna. Bahkan untuk berjalan pun, kita pernah melewatinya ketika kecil, tentu saja.

Begitu pula dengan kemampuan soft skill, kemampuan ringan yang dinamakan ketrampilan keterampilan yang sangat dibutuhkan ketika hidup bermasyarakat, dimanapun kita berada. Jangankan bermasyarakat, keterampilan pun sangat dibutuhkan oleh diri sendiri demi mencukupi kebutuhan diri sendiri akan hiburan, kebutuhan berfikir, kebutuhan menulis dan kebutuhan kebutuhan kecil yang sangat sederhana namun berarti begitu banyak. Disinilah makna kesyukuran itu harus lebih kita gali lagi.

Makanya, banyak yang bilang, gak perlu banyak teori untuk sukses, cukup lakukan, berdoa, terus menerus, sungguh-sungguh. Jadi.  Banyak juga yang bilang, gak perlu sekolah tinggi kalau mau jadi pengusaha, cukup praktek dan praktek dan terus praktek meski gagal. Ya ya, semua benar. Practice makes perfect. Begitu juga dengan keinginan, selalu dijembatani oleh perbuatan hingga akhirnya melahirkan hal baru yang disebut terwujudnya impian dan keinginan itu menjadi nyata. Jadi, selalu ada langkah awal untuk langkah selanjutnya yang dapat dilakukan dengan konsisten jika visi itu sudah jelas.

Perbedaan orang sukses dan tidak sukses ada di pilihan, keputusan dan tindakan. Sisanya, tentu saja doa, takdir, integritas.

Dari kecil kita sudah mempelajari keterampilan hidup. Dari yang paling kecil saja misalnya, belajar bersepeda atau bahkan berenang. Tentu ada guru yang mengajari. Dari Guru menjadi guru kemudian melahirkan guru dan seterusnya, kita semua guru bagi generasi selanjutnya. Yang belum sadar akan tanggung jawab ini mungkin hanya sedang menutup mata saja. Karna semua orang gak mungkin gak tau tentang hal sesederhana ini. Hanya saja, ada yang mau menerima tanggung jawab dengan hati dan fikiran terbuka ada yang menunda nunda saja.

Ketika dewasa, kita juga belajar lebih banyak dan lebih berat lagi, sesuai kebutuhan otak dan kemampuan diri. Semua akan berkelanjutan dan akan terus seperti itu hingga dijemput oleh kematian.

Kita semua memiliki kemampuan dan modal yang sama dari Allah, meski berbeda beda jenis. Untuk itu kita ada, untuk saling berbagi, membantu, melengkapi kemanusiaan. Permasalahan disekitar yang kita hadapi adalah hal yang sesuai dengan kemampuan kita. Jadi jangan coba coba mengeluh dan jika ku mengeluh disuatu waktu, tolong ingatkan aku juga ya.

Ketika kita mampu menolong diri sendiri atas izin Allah, for sure. Kita tentu mampu menolong orang lain sesuai kapasitas kita. Tinggal keinginan, kesungguhan, kesungguhan, kemudahan dariNya. Mudah memang menulis daripada praktek. Tapi penulis sendiri tentu ada pengalaman menarik tentang lingkungan yang tidak kondusif yang kemudian bisa berubah menjadi kondusif dengan ilmu, doa, keyakinan, kesabaran serta usaha yang terus menerus meski dilakukan dengan cara remeh.

Kita tak kan pernah menjadi korban kecuali kita yang memutuskannya menjadi korban.

Saya sendiri, jujur saya. Memang memilih menjadi korban. Itu keputusan saya, dan pilihan hidup saya. Saya memutuskan untuk menjadi orang lemah yang rela diinjak injak harga dirinya. Saya rela menjadi orang yang bagai pohon melambai lambai, atau tepatnya seperti rumput yang bergerak kenanan dan kekiri, tanpa berusaha berpindah dari lingkungan yang tidak kondusif sampai Allah yang menolong saya.

Jadi intinya sama saja, saya yang memutuskan diri saya menjadi korban maka saya tak pantas untuk mengeluh.

Jikapun ternyata saya sudah berusaha untuk tidak menjadi korban lagi tetapi belum juga berhasil ya sudah tidak apa apa, saya menikmati pengorbanan yang semoga dinilai pengorbanan oleh Allah, Tuhan saya yang Satu, Tunggal, Esa.  Jika ternyata semua ini tidak dinilai pengorbanan oleh Allah, dikarnakan saya mengeluh didepan umum seperti ini melalui tulisan ini, atau karna menyebut nyebut pengorbanan itu sendiri, atau karna ternyata sebenarnya semua yang terjadi ini adalah tanggung jawab saya yang sudah tertulis dari lahir yaitu sebagai guratan nasib atau tepatnya garis tangan, sesuatu yang harus saya selesaikan alias TANGGUNG JAWAB yang diberi Allah, Tugas dari Allah kepada saya, untuk menyelesaikannya namun karna lalai lengah dan lemah saya mengabaikan lalu terabaikan, lalu saya merasa menjadi korban?

Nah, ya kan.. dibilangin juga apa, gak ada waktu lagi untuk memikirkan dunia walau seujung kuku meski kaki ini masih menapak dibumi, karna, sesungguhnya kita seringkali lalai saudara saudara… Tetapi yang sering terjadi adalah kita sering memikirkannya karna ketidakmampuan, ketidaktahuan, dan seterusnya. Semoga kita tidak lagi menjadi orang orang lemah yang melemahkan orang lain, semoga kita menjadi kuat dan menguatkan, bahagia dan membahagiakan.

Apakah tulisan saya cukup jelas, atau terlalu berbelit belit?
Jika belum jelas, semoga teman teman mau mendoakan saya agar dapat menulis dengan lebih jelas, sistematis dan ringkas sehingga lebih mudah dimengerti.
Atau, bisa memberi tips tips menulis tanpa saya minta seperti ini.
Terimakasih, Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar