Kamis, 13 Maret 2014

Tingkatan Membaca dan Metode Penyaringan Informasi


Hari ini kerjaanku Cuma makan, jalan, makan, baca sebaris, jalan, beli sepatu, beli cd, makan, jalan, ngobrol. Ngikutin alur jadwal orang lain aja pokoknya. Jadwalku baru sore sampe malam bisa dikerjain. ya alhamdulillah sih meski ga fokus disyukuri aja. sedikit yang berarti, semoga. Dan cobalah, belum maksimal belajar malah akhirnya tergerak buat nulis di blog.

Dalam perjalanan nemenin ibu tadi kami naik becak. sebagai anak mantan komunikasi dan sedang melanjutkan program studi komunikasi saya berusaha berkomunikasi dengan bapak yang mengendarai becak kami. Sebenernya, aku dalam keadaan malas berkomunikasi, seperti biasa, sebenernya lebih suka diam aja. menikmati semilir angin menyapa sambil melihat jalanan. Biasanya dari situ banyak sekali inspirasi yang datang, jika sedang fit dan mood khususnya. 

Tapi aku merasa berkewajiban untuk memaksa diri mengobrol dengan bapak ini, hingga dari yang awalnya si bapak menjawab ala kadarnya sampai cerita tentang kesulitan yang dihadapinya dalam mengatasi anaknya yang sedang 'malas bekerja' dan malah sibuk dengan hp nya seharian. Berbagai solusi coba kuberi ke bapak yang kelihatan putus asa ngadepin si anak pertama yang seharusnya menjadi teladan bagi adik-adiknya. 

Karena ngobrol didalam becak dengan kondisi dalam perjalanan dijalan raya,tentunya suara bising mengalahkan suara lemahku. Aku berusaha mencondongkan diri supaya gak perlu teriak (karna tenggorokanku selalu sakit kalo teriak teriak, meskipun punya bakat untuk ini) dan alhamdulillah si bapak juga memperhatikan dan mendengarkan apa yg coba kusampaikan ditengah hambatan komunikasi kami bertiga bersama ibu, alias berisik. 

Ketika hampir sampai tujuan, wajah si bapak terlihat lebih cerah dan lega. Ditengah tengah obrolan pun beliau menyampaikan ketersyukuran dengan wajah berbinar binar "iya, memang itu yang susah untuk saya lakukan.." dan seterusnya.

Aku merasa senang melihat si bapak senang namun disatu sisi malu juga karna jarang bersosialisasi seperti dulu. Tapi bukan hanya bersosialisasi yang jarang kulakukan 1-2 tahun terakhir ini, atau mungkin bahkan sudah bertahun-tahun. Aku juga jarang membaca. bukan hanya jarang, tapi juga sudah tidak begitu tertarik membaca. Tapi, tuntutan untuk banyak membaca begitu sering mendatangi. Hal ini membuatku repot juga kadang kala, untuk menyeimbangkan antara tuntutan dan keinginan. 

Mungkin juga karna lama sekali tidak membaca, dan tidak "membaca" otakku menjadi semakin aih sulitnya digunakan. Bahkan, untuk membaca satu materi aja harus berulang ulang baru bisa kupahami hahaha.Tapi ga apa lah, semoga baik bagi perkembangan karakterku nantinya. (loh?)

sudah seminggu lebih kerjaanku cuma membawa buku Metodologi Penelitian tapi hanya membawa saja, sampai buku itu lecek, materinya cuma sebaris yang kubaca. lucu ya. tapi ga bisa ketawa saking lucunya. Buku buku yang lain juga bernasib sama. Dibaca sedikit ditutup lagi. tapi anehnya, ya aku masih bisa dikatakan "wah, ari pintar sekali" sama professor ketika menyerahkan hasil tulis buat skripsi. jujur, asli, aku geli mendengar prof ngucapin itu, apalagi didepan teman teman pula, tapi bersyukur dan berucap amin ya Allah... 

semoga aku beneran jadi pinter seperti perkataan prof yang entah menyindir atau jujur mengungkapkan fikirannya. hahaha.. aku ga mau meneliti tentang ini karna bakal ga siap dengan hasil akhirnya

yang kutau, otakku sulit diajak kompromi untuk membaca. apalagi "membaca
dan anehnya, disaat tak kupaksa tak kuajak membaca atau "membaca" si otak malah "membaca" dan membaca apa aja yg ada dibuku atau diluar buku dengan sendirinya. konyol yang disyukuri aja harusnya. 

Malam ini, ditengah kerumitan membaca sambil "membaca" aku teringat perkataan ayahku ketika masih SD. Tingkatan membaca itu yaitu, membaca lalu berfikir "ini artinya apa." Kemudian membaca lalu mengetahui seluruhnya sehingga bisa membaca dengan cepat. kemudian membaca lalu sambil merevisi isi bacaan, ini seharusnya gak gini ini seharusnya begini dst. 

Nah, karna beberapa tahun lalu ayah sempat menyuruhku berhenti membaca karna kekhawatirannya terhadapku maka aku mengira sudah memang tidak perlu membaca lagi. Ternyata ayah hanya menyuruhku untuk praktek kerja dengan sedikit ilmu yg dititipkanNya. Sehingga, ketika disuruh membaca lagi setelah otakku lama tak bekerja dengan baik (oalah, gak ada kata kata yang lebih baik ri?) maka aku sedikit kewalahan menghadapi kebebalan otak ini.

Sampai lah tingkat kewalahan itu pada pemahaman tingkatan membaca itu masih ada lagi.
setelah sampai pada kemampuan membaca sambil merevisi isi bacaan didalam otak secara otomatis berdasar pengalaman dan pengetahuan dimasa lalu yang terekam di memori. Maka tingkatan membaca selanjutnya adalah menyatukan antara teori dan praktek yang harus ditemukan jalan tengahnya atau solusi bagi banyak pihak tanpa merugikan atau menyakiti

Dan, tetap menjaga kestabilan emosi diri dengan pemakaian emosi disetiap olah kata. How come?
*dududu, syalalala..        

Tidak hanya sampai disitu, kita juga harus mampu menuliskan kembali hasil 'olah fikir' yang biasanya masih berupa simbol-simbol, atau angka angka menjadi 'huruf-huruf' yang disebut sebagai susunan kata menjadi kalimat yang bisa dibaca dan dipahami manusia pada umumnya. Bagaimana? karna saya sendiri saja kesulitan menjadi manusia, konon lagi harus memberi pemahaman pada manusia apalagi jika manusia yang harus diberi pemahaman adalah manusia yang sudah lama menjadi manusia hehhe. saya harus make alat bantu apa kalo gitu supaya cepet? 

jawabannya mungkin begini: Harus pake bantuan visual audio dan ilmu akhirat!
 
Penyaringan Informasi
Sangat banyak Informasi yang bertebaran di masyarakat. Meskipun Informasi dan ilmu adalah dua hal yang berbeda dari segi transformasi kemuliaannya, tapi tidak banyak juga yang menyadari ini bila tak sering diingatkan bila tak ada yang menyadarkan.

Namun, siapa yang sudi menyadarkan jika diri sendiri tak ingin sadar diri. Sia-sia saja rasanya jika penyaringan Informasi sulit dilakukan diri pribadi karna Undang-Undang Indonesia takkan mungkin mengatur semua hal tentang Informasi hingga sedetail detailnya. Mengingat, Masyarakat kita bukan terdiri dari pakar dan ilmuan yang selalu perduli pada orang lain sebagaimana yang terjadi di Eropa dan negara sekitarnya. Kita sebut ini, Krisis Akhlak.

Lucu, kita tak punya UUD yang cukup baik tapi juga SDM tak ditingkatkan dengan super high quality control. Atau karna UUD yang tak cukup baik maka SDM kita semakin kacau. Ya, apapun kesimpulannya, saya tak sedang meneliti lebih jauh tentang UUD Penyaringan Informasi. Karna, lucu aja rasanya jika UU ITE harus beribu-ribu lembar. Siapa yang mampu menghafalnya? 

Bila Norma norma masyarakat telah terkikis, sama halnya terkikisnya sawah-sawah dan sungai-sungai menjadi bangunan pembatas jalan bagi angin semilir, maka, hati nurani yang perlu diaktifkan kembali. Karna peraturan tak tertulis akan lebih mudah ditaati ketimbang aturan tertulis. 

Untuk saat ini, hal yang bisa dilakukan demi menyaring informasi mungkin seperti ini:
A. Menutup Telinga dengan Earphone, mp3 ayat Quran.
B. Menutup mata dengan buku buku tebal yg mampu menambah kualitas diri.
C. Berteman dengan orang orang tertentu (meski sebenarnya tidak suka memilih teman)
D. Banyak membaca ayat kursi dan Al Baqarah. hahaha.

Ah, sudahlah.  Semoga tulisan konyol ini bermanfaat bagi umat. (wahhahahaha)
 
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar