1.
Kita tidak pernah menjadi korban
18 Desember 2013
“Kita
tidak pernah menjadi korban, kita yang memutuskan menjadi korban.”
Manusia
terlahir tak begitu saja langsung berilmu, selalu ada proses untuk kemudian
menjadi orang yang layak disebut berpengetahuan. Selalu ada proses untuk
menjadi lebih baik, lebih berarti lebih bermakna. Bahkan untuk berjalan pun,
kita pernah melewatinya ketika kecil, tentu saja.
Begitu
pula dengan kemampuan soft skill, kemampuan ringan yang dinamakan ketrampilan
keterampilan yang sangat dibutuhkan ketika hidup bermasyarakat, dimanapun kita
berada. Jangankan bermasyarakat, keterampilan pun sangat dibutuhkan oleh diri
sendiri demi mencukupi kebutuhan diri sendiri akan hiburan, kebutuhan berfikir,
kebutuhan menulis dan kebutuhan kebutuhan kecil yang sangat sederhana namun
berarti begitu banyak. Disinilah makna kesyukuran itu harus lebih kita gali
lagi.
Makanya,
banyak yang bilang, gak perlu banyak teori untuk sukses, cukup lakukan, berdoa,
terus menerus, sungguh-sungguh. Jadi.
Banyak juga yang bilang, gak perlu sekolah tinggi kalau mau jadi
pengusaha, cukup praktek dan praktek dan terus praktek meski gagal. Ya ya,
semua benar. Practice makes perfect. Begitu juga dengan keinginan, selalu
dijembatani oleh perbuatan hingga akhirnya melahirkan hal baru yang disebut
terwujudnya impian dan keinginan itu menjadi nyata. Jadi, selalu ada langkah
awal untuk langkah selanjutnya yang dapat dilakukan dengan konsisten jika visi
itu sudah jelas.
Perbedaan
orang sukses dan tidak sukses ada di pilihan, keputusan dan tindakan. Sisanya,
tentu saja doa, takdir, integritas.
Dari
kecil kita sudah mempelajari keterampilan hidup. Dari yang paling kecil saja
misalnya, belajar bersepeda atau bahkan berenang. Tentu ada guru yang
mengajari. Dari Guru menjadi guru kemudian melahirkan guru dan seterusnya, kita
semua guru bagi generasi selanjutnya. Yang belum sadar akan tanggung jawab ini
mungkin hanya sedang menutup mata saja. Karna semua orang gak mungkin gak tau
tentang hal sesederhana ini. Hanya saja, ada yang mau menerima tanggung jawab
dengan hati dan fikiran terbuka ada yang menunda nunda saja.
Ketika
dewasa, kita juga belajar lebih banyak dan lebih berat lagi, sesuai kebutuhan
otak dan kemampuan diri. Semua akan berkelanjutan dan akan terus seperti itu
hingga dijemput oleh kematian.
Kita
semua memiliki kemampuan dan modal yang sama dari Allah, meski berbeda beda
jenis. Untuk itu kita ada, untuk saling berbagi, membantu, melengkapi
kemanusiaan. Permasalahan disekitar yang kita hadapi adalah hal yang sesuai
dengan kemampuan kita. Jadi jangan coba coba mengeluh dan jika ku mengeluh
disuatu waktu, tolong ingatkan aku juga ya.
Ketika
kita mampu menolong diri sendiri atas izin Allah, for sure. Kita tentu mampu
menolong orang lain sesuai kapasitas kita. Tinggal keinginan, kesungguhan,
kesungguhan, kemudahan dariNya. Mudah memang menulis daripada praktek. Tapi
penulis sendiri tentu ada pengalaman menarik tentang lingkungan yang tidak
kondusif yang kemudian bisa berubah menjadi kondusif dengan ilmu, doa,
keyakinan, kesabaran serta usaha yang terus menerus meski dilakukan dengan cara
remeh.
Kita
tak kan pernah menjadi korban kecuali kita yang memutuskannya menjadi korban.
Saya
sendiri, jujur saya. Memang memilih menjadi korban. Itu keputusan saya, dan
pilihan hidup saya. Saya memutuskan untuk menjadi orang lemah yang rela diinjak
injak harga dirinya. Saya rela menjadi orang yang bagai pohon melambai lambai,
atau tepatnya seperti rumput yang bergerak kenanan dan kekiri, tanpa berusaha
berpindah dari lingkungan yang tidak kondusif sampai Allah yang menolong saya.
Jadi
intinya sama saja, saya yang memutuskan diri saya menjadi korban maka saya tak
pantas untuk mengeluh.
Jikapun
ternyata saya sudah berusaha untuk tidak menjadi korban lagi tetapi belum juga
berhasil ya sudah tidak apa apa, saya menikmati pengorbanan yang semoga dinilai
pengorbanan oleh Allah, Tuhan saya yang Satu, Tunggal, Esa. Jika ternyata semua ini tidak dinilai
pengorbanan oleh Allah, dikarnakan saya mengeluh didepan umum seperti ini
melalui tulisan ini, atau karna menyebut nyebut pengorbanan itu sendiri, atau
karna ternyata sebenarnya semua yang terjadi ini adalah tanggung jawab saya
yang sudah tertulis dari lahir yaitu sebagai guratan nasib atau tepatnya garis
tangan, sesuatu yang harus saya selesaikan alias TANGGUNG JAWAB yang diberi
Allah, Tugas dari Allah kepada saya, untuk menyelesaikannya namun karna lalai
lengah dan lemah saya mengabaikan lalu terabaikan, lalu saya merasa menjadi
korban?
Nah,
ya kan.. dibilangin juga apa, gak ada waktu lagi untuk memikirkan dunia walau
seujung kuku meski kaki ini masih menapak dibumi, karna, sesungguhnya kita
seringkali lalai saudara saudara… Tetapi yang sering terjadi adalah kita sering
memikirkannya karna ketidakmampuan, ketidaktahuan, dan seterusnya. Semoga kita
tidak lagi menjadi orang orang lemah yang melemahkan orang lain, semoga kita
menjadi kuat dan menguatkan, bahagia dan membahagiakan.
Apakah
tulisan saya cukup jelas, atau terlalu berbelit belit?
Jika
belum jelas, semoga teman teman mau mendoakan saya agar dapat menulis dengan
lebih jelas, sistematis dan ringkas sehingga lebih mudah dimengerti.
Atau,
bisa memberi tips tips menulis tanpa saya minta seperti ini.
Terimakasih,
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar